Mitos: Orang Israel mendirikan Yerusalem 3.000 tahun lalu (sekitar 1.000 SM)
Fakta: Kaum Yebus (Kanaan—nenek moyang bangsa Palestina) sekitar 3.000 SM (atau 2.000 tahun sebelum keberadaan orang Israel) tinggal di wilayah yang disebut “Jebus”. Kemudian Yebus menjadi “Ur-Shalem”. Ur-Shalem (Yerusalem) adalah kata Kanaan yang berarti “rumah Salem”, kepala suku Yebus. Nama Shalem adalah bahasa Aramaik, yang kemudian disesuaikan ke dalam bahasa Arab dan Ibrani untuk menunjukkan makna ‘perdamaian’. (Lihat Karen Armstrong, Jerusalem: One City Three Faith, Ballantine Book, 1997.)
Mitos: Selama lebih dari 3.300 tahun, Yerusalem telah menjadi ibukota orang Yahudi.
Fakta: Sepanjang 5.000 tahun sejarah tanah Kanaan, Yerusalem menjadi ibukota Israel (bukan Yahudi) hanya selama 421 tahun. Wafatnya Sulaiman menandai akhir dari kerajaan Israel bersatu. Kerajaan Utara dinamakan Samaria dan beribu kota Samaria. Yerusalem bukan ibukota Kerajaan Utara yang terdiri dari 10 suku mayoritas orang Israel. Kerajaan Selatan dinamakan Yehuda dan beribu kota Yerusalem. Namun, kerajaan ini hanya terdiri dari 2 suku. Jadi, mayoritas orang Israel tidak menganggap Yerusalem ibukota mereka.
Ketika bangsa Assyria menyerbu Samaria, penduduknya berpencar, dan kemudian disebut sebagai “Sepuluh Suku Israel yang Hilang”. Jadi “Sepuluh Suku Israel yang Hilang” hanya tinggal di Kerajaan Israel selama 205 tahun hingga invasi Assyria. Kerajaan Israel Selatan menurunkan orang Yahudi Sephardic pada hari ini, dan bukan Yahudi Ashkenazi yang banyak menghuni “Israel” sekarang. Jadi, Yerusalem merupakan ibukota Yehuda, bukan Israel, selama 421 tahun.
Mitos: Yerusalem disebut lebih daripada 700 kali di dalam Tanakh, Kitab Suci Yahudi. Yerusalem tidak disebutkan sekalipun di dalam Al-Quran.
Fakta: Yerusalem disebutkan dalam Al-Quran dalam kaitan dengan Isra (perjalanan malam Nabi Muhammad). Berbeda dengan Tanakh, Al-Quran bukan kitab tentang kisah tokoh sejarah dan nenek moyang. Mekkah pun disebut hanya sekali dalam Al-Quran dan Madinah hanya dua kali. Al-Quran bahkan tidak menyebutkan kota-kota itu suci. Fakta bahwa kota-kota itu disebutkan sedikit tentu tidak mengurangi status mereka di mata Muslim.
Islam tidak hanya berdasarkan atas Al-Quran, tetapi hadis Nabi Muhammad. Nabi bersabda, “Ziarah dilakukan untuk tiga mesjid: Masjid Suci di Mekkah, Masjidku di Madinah, dan Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.” Lepas dari semua itu, hak penduduk asli Tanah Historis Palestina (baik Yahudi, Kristen, maupun Muslim) terhadap Yerusalem tidaklah berasal dari teks suci agama, tetapi berlandaskan pada nilai domisili selama ribuan tahun.
Mitos: Yerusalem tak pernah menjadi ibukota atau kota penting Arab.
Fakta: Yerusalem selalu menjadi pusat kehidupan bagi penduduk asli Palestina sejak lima ribu tahun lalu. Nenek moyang mereka—seperti dikemukakan di atas—orang Yebus (Kanaan) sekitar 3.000 SM tinggal dan membangun kota yang mereka sebut “Ur-Salem” (Yerusalem). Ini kata Kanaan yang berarti “rumah Salem”, kepala suku Yebus.
Keadaan tersebut terus berlangsung meskipun Tanah Palestina di bawah kendali Assyria, Mesir, Yehuda, Romawi, Turki Utsmani, Inggris, Yordania, dan “Israel”. Yerusalem selalu menjadi pusat kehidupan pribumi Palestina seperti halnya Beirut bagi Lebanon atau Kairo bagi Mesir. Tidaklah mengherankan jika penerbitan, bisnis, dan pusat keagamaan bangsa Palestina semuanya berakar di Yerusalem.
Yerusalem juga selalu menjadi kota internasional dengan komunitas multietnik dan multiagama. Faktanya, Raja Sulaiman dan Daud membolehkan bangsa Kanaan (penduduk asli ketika mereka berkuasa) berkembang. Yerusalem semakin berkembang dan terbuka selama periode kekuasaan Islam (Lihat Karen Armstrong, Jerusalem: One City Three Faith, Ballantine Book, 1997.).
Namun, sejak menduduki Yerusalem, Zionis secara berkesinambungan menodai kesucian Yerusalem dan mengubah struktur masyarakatnya, lewat proyek rasis “Zionisasi Yerusalem”.
Mitos: Yahudi sembahyang menghadap Yerusalem. Muslim salat membelakangi Yerusalem.
Fakta: Hanya Muslim yang hidup antara Yerusalem dan Mekkah (proporsi kecil dari Muslim) yang membelakangi Yerusalem ketika salat.
Kiblat Muslim menuju Mekkah di mana Muslim percaya Nabi Ibrahim membangun Ka’bah sebagai tempat salat. Batu Hitam di Kabah telah ada sejak zaman Nabi Adam. Ibrahim dan Ismail, anak pertamanya, membangun Ka’bah berdasarkan perintah Allah (QS. 2:125-27).
Kiblat Muslim awalnya adalah Yerusalem. Kiblat itu diubah setelah perjalanan Nabi Muhammad ke Yerusalem setelah ia menerima perintah untuk mengubahnya. Sejumlah kalangan percaya ini ditujukan untuk menghormati peristiwa sejarah sebelum Islam, dan yang lain percaya ini untuk menyatukan suku-suku Arab. Muslim, seperti yang lain percaya, bahwa Allah ada di mana-mana dan tidak berdiam di satu tempat.
Adapun orang Yahudi tidak selalu menghadap Yerusalem dalam sembahyang mereka. Alkitab bahkan mengatakan bahwa orang Israel awal menghadap ke selatan ketika mereka berdoa (Keluaran 27:9; 40:24). Ini menegaskan bahwa Ka’bah, yang berada di selatan Yerusalem adalah kiblat bagi masyarakat Israel awal.mm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar